Rabu, 18 Juni 2014

None

Tak mampu berkata-kata. Tak berucap apapun.
Angin yang dulu pernah bertiup dengan kencangnya menghempas pohon kini telah tenang. Tenang, lebih dari air yang mengarlir. Hujan yang menghiasi pun tak lagi turun. Meski kadang masih sesekali menyapa. Menunnggu hujan turun dan angin bertiup, sekarang sepertinya bagai menunggu hujan turun di padang gurun. Bahkan setangkai warna merah masih dapat terlihat di gurun yang panas daripada di puncak yang dingin.
Angin pun, menjadi semakin pelan, tak bisa mengoyak ranting dan dedaunan yang mungkin pernah tergoyahkan olehnya dulu. Mungkin angin yang kencang tak diinginkan oleh daun-daun dan ranting yang menjulang ke langit. Tapi, angin yang datang dengan lembut dan tenang mungkin yang dibutuhkannya. 
Tapi, angin itu tak lagi datang. Menerbangkan dedauanan kering, menjatuhkan dedaunan yang telah layu, dan membawa serpu sari ke tempat yang jauh. Angin itu bahkan telah benar-benar terdiam. Diam, hampir tanpa angin. Seperti di luar angkasa yang hampa akan udara. Ingin angin itu kembali datang. Membunyikan ranting yang saling bergesekan. Membawakan udara yang berbeda dari luar sana. 
Mungkin pohon dulunya tak menghiraukan apapun tentangmu. Mungkin dia tak tau akan adanya angin. Angin tak pernah menunjukkan wujudnya di hadapan sang pohon. Tak pernah memberitahukan dirinya kepada sang pohon. Mungkin angin tak berarti bagi pohon yang menjalarkan batangnya, tapi begitu bermakna pohon yang tumbuh menjulang di padang rumput yang luas.


Sesuatu yang kadang tidak kita syukuri dan tidak kita sadari namun sangat berharga adalah kasih sayang yang selalu dilimpahkan seseorang dalam diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar